Rabu, 15 Juli 2009

seanday_Ny@

Diam semakin membahasa. Mengakar dalam dentingdenting waktu yang sengaja kau gantungkan. Menghambarkan manis pahit dalam setiap sudutsudut relung kerinduan.

Aku bergeming. Tak jua ku rasakan getaran tubuhmu, hanya panas matahari kian menyengat dari bias kaca jendela. Pun dengan cinta kita, duduk di tengahtengah serupa hawa panas kian membuat kita tak saling jenak.

Ini kali pertama ku rasakan debar hati setelah terakhir beberapa purnama lalu. Debar yang semakin mencabar. Seraya berganti tetestetes bulir dari ronggarongga buncah hati.


/2/
Gema langkah kaki sekejap merebak selasela lamunan. Benar. Kau pergi menenteng sesuatu yang sedari tadi duduk disebelahmu. Kemudian tak ku lihat parasmu dalam jangkau pandangku. Kau t’lah jauh pergi.

Kini aku pun harus pergi. Namun ku tinggalkan cintaku di sini, ku sandarkan di kursi yang pernah kau sandari. Ku biarkan dia di sini, sendiri, menanti kau kembali membawanya lagi, atau sekedar melihat dan membiarkannya mati.


/3/
Musim t’lah berganti. Namun cinta itu masih saja menanti di kursi yang pernah kau sandari, sebati tanpa leka akan hati yang datang pergi.

Dan kursi tetap saja kursi. Hanya bergeming. Tak mungkin mengadu padamu tentang setiaku menanti.

Seandainya kau menyadari, bahwa sebenarnya aku tak pernah benarbenar pergi, aku selalu menanti walau dari sisi yang tak mungkin kau lihat dan pahami.





**http://id.kemudian.com/node/233603**