Dalam suatu rapat atau diskusi perbedaan pendapat sering sekali terjadi. Kita harus terbiasa dan terlatih untuk menerima perbedaan pendapat. Walaupun terkadang kita suka tidak ikhlas menerima itu.
Beberapa tahun yang lalu, saya bersama konsultan melakukan presentasi ke jajaran komisaris perusahaan. Tentunya saya merasa presentasi yang diberikan oleh konsultan sudah bagus. Tetapi tidak demikian halnya menurut komisaris. “Cukup! Dua bulan kamu bekerja, hasilnya hanya seperti ini? Saya bisa bikin yang jauh lebih bagus hanya dalam dua jam. Ini tidak memenuhi syarat.” ujarnya.
Saya tertegun.
Saya pikir, waktu itu konsultannya marah. Mereka itu kan salah satu konsultan top internasional. Mereka pun tidak jelek menurut saya. Ternyata enggak, mereka terima secara ikhlas. Mereka bilang, diskusi ini diterima sebagai masukan, bulan depan akan balik dengan yang lebih bagus.
Saya tanya lagi, “Kenapa kamu tadi ga marah? Ga emosi?” Kenapa mereka bisa tahan. Mukanya tidak memerah, tidak gemeteran, biasa aja. Tenang.
Ini yang akhirnya saya pahami.
Orang yang bisa maju, yang bisa jadi hebat, selain dididik dengan baik, adalah bisa menerima masukan yang halus maupun keras (kasar) dengan jiwa terbuka dan hati yang lapang. Karena dia sadar, bisa jadi dia punya kesalahan juga. Dengan adanya masukan, akan bisa ada peningkatan.
Barangkali, ini adalah hasil didikan mereka dari kecil sampai mereka sekolah dan kuliah, juga sampai mereka bekerja. Mereka terbiasa untuk berdiskusi, mencari kebenaran, membuat peningkatan (improvement), dan pengayaan wawasan. Mereka terdidik untuk berdebat, walaupun kadang-kadang kasar, tapi mereka bisa terima. Jadi, apapun kata orang, gak bikinmereka emosi.
Saya ga kebayang kalau waktu itu saya yang di sisi konsultan. Mungkin saya sudah mutung, “urus aja sendiri, saya gak mau urusin.”
Saya tidak terbiasa. Pendidikan kita tidak terbiasa seperti itu. Kita tidak terbiasa dikritik orang dengan keras. Sehingga, biasanya kita diam saja, quit; atau kita emosi, kita lawan!
Ini soft skill yang relatif tidak diajarkan. Waktu kuliah misalnya, waktu kita bertanya memang dosennya terima dan menjawab. Tapi kalau kita tanya yang agak panjang dikit atau agak melenceng, kalau bukan dosennya marah, ya mahasiswa lain yang respon “eh, elu buang-buang waktu aja!” Jadi kita tidak terbiasa. Padahal, di dunia kerja itu adalah hal yang biasa. Mau tidak mau harus seperti itu.
Udah gitu, konsultan itu bisa menangkap masalah dengan lebih jelas dan dari sudut pandang yang berbeda. Kita tidak bisa melihat dengan kritis. Kalau kita, setelah program jalan sesuai dengan rencana, ya sudah. Tidak lakukan analisa mendalam.
Lagi-lagi, kita tidak terbiasa. Waktu kita sekolah dulu, kerjain soal, selesai. Udah, gitu aja. Tidak ada yang bertanya: Kenapa begini? Kenapa begitu? Bagaimana kalau begini? Bagaimana kalau begitu?
Mengapa mereka hebat? Apakah karena mereka konsultan? Atau karena mereka orang asing? Memang, konsultan rata-rata dididik seperti itu. Tetapi, ternyata orang asing rata-rata begitu, walaupun bukan konsultan. Jadi, kalau kita diskusi dengan orang asing, mereka bisa menjelaskan dan menjawab pertanyaan dengan enak. Kalau kita kasih masukan, mereka bisa mendengarkan dengan baik.
Itu yang saya sadari. Mungkin tenaga kerja kita tidak terbiasa untuk hal-hal seperti itu. Orang biasa berpikir secara logika. Ngitung-ngitung, oke. Tapi sayangnya soft skill-nya (atau lebih lengkapnya, life skill) kurang terasah. Apalagi kalau berbahasa Inggris. Kami di XL merasa itu adalah sesuatu yang harus kita lengkapi. Saya bermimpi, nanti yang memimpin perusahaan global di Indonesia adalah orang Indonesia. Bahkan kalau bisa, memimpin perusahaan global di luar negeri.
Jangan sampai nanti pas dunia sudah lebih terbuka, kita kehilangan kesempatan untuk memimpin perusahaan-perusahaan besar di negara ini, atau lebih bagus lagi di negara lain.
Saat menghadiri peluncuran program XL Future Leader, Pak Handry Santriago dari GE Indonesia bilang, “Kita itu mampu, hanya saja kita tidak dididik untuk berpikir, berkomunikasi yang benar.” Untuk itulah kami berinisiatif membuat program XL Future Leaders. Kami coba melengkapi pendidikan akademis dengan life skill.
Diharapkan dalam dua tahun, mahasiswa tersebut bisa lengkap: lulus dengan nilai akademis yang baik, ditambah dengan life skill yang baik. Dan ketika nanti mereka bekerja, akan lebih matang lagi. Sehingga memperbesar kemungkinan, suatu saat nanti mereka bisa jadi pemimpin perusahaan yang baik, pemimpin bangsa yang baik.
Ditargetkan 120 mahasiswa per tahun, sehingga dalam lima tahun ke depan akan ada 600 calon pemimpin yang berkarakter. (HS)